Minggu, 15 Februari 2015

(Nyaris) 26 Tahun, dan Saya (Tidak) Bangga Menjadi Warga Jember

Minggu pagi kemarin, adalah pertama kalinya saya mencoba hal baru yang sebenarnya sudah sejak lama ingin saya lakukan. Bersepeda keliling kota. Karena memang kebetulan ada keperluan, saya memutuskan untuk nggowes menuju daerah Talangsari. Berangkat jam setengah 7 pagi, saya melewati rute Jl PB Sudirman-Jl Bedadung-Jl Citarum-Jl Ciliwung-Jl A.Yani-GNI-Jl Wahid Hasyim-Ponpes ASHRI-Jl HOS Cokroaminoto-Jl Gajah Mada-Alun2 Kota Jember. Untuk pemula, mungkin cukup melelahkan. Apalagi setiap hari terbiasa ngegas motor, bukan nggowes :) Melewati rute yang jarang sekali saya lalui, ada banyak hal yang muncul di benak saya. Ternyata, banyak sudut kota yang belum saya jamah. Banyak bertemu dengan orang-orang baru yang sama sekali tidak saya kenal, saya mencoba mengedarkan senyuman. Dan itu membuat saya merasa sedikit lebih bahagia. Terlepas dari kenal atau tidak. Semakin jauh jarak yang ditempuh, semakin banyak yang ditemui. Bapak-bapak tua yang masih gigih bekerja sebagai tukang sapu toko, Ibu-Ibu yang penuh semangat menarik gerobak sampah yang seharusnya menjadi pekerjaan bagi seorang laki-laki, dan banyak lagi. Dari sini saya semakin merasa bahwa selama ini saya kurang memanjakan diri dengan hal-hal yang baru diluar aktifitas kerja sehari-hari. Sesampainya di tempat tujuan, memang saya tidak menemui orang yang dimaksud. Pada akhirnya saya haru melanjutkan perjalanan. Saya berusaha menikmati setiap jengkal yang saya lalui. Melihat langit dan awan yang cerah, pegunungan yang tampak begitu jelas walaupun dengan setting pemandangan kota, anak-anak yang dengan ceria bergerombol, bermain bola, bersepeda, bahkan ada yang begitu menikmati waktu berkumpul bersama Ayah Ibunya, tak peduli hanya dengan duduk beralaskan selembar koran di pinggiran jalan kota. Sesuatu yang baru. Beda dari biasanya. Jarang sekali saya lihat dalam keseharian. Satu lagi kebahagiaan yang saya dapat. Memang (mungkin) terkesan remeh di mata orang lain. Tapi tidak bagi saya. Lalu sesampainya di Jl Gajah Mada, sayup-sayup saya mendengar alunan musik dari kejauhan. Marching Band. Saya pikir, mungkin team Jember Marching Band sedang berlatih. Ternyata semakin saya mendekat, saya melihat kumpulan orang berbaju warna-warni, dengan fashion yang spektakuler. Barulah saya menyadari bahwa lagu Jai Ho yang saya dengar tadi adalah permainan musik dari team Marching Band JFC (Jember Fashion Carnaval) yang dibelakangnya diiringi dengan parade kostum teman-teman JFC, didampingi beberapa panitia yang terlihat sedikit sibuk. Saya berhenti. Menikmati dengan seksama. Di barisan depan tampak Om Dynand Fariz, pencetus Jember Fashion Carnaval yang kini sudah mendunia. Beliau tampak bersemangat mendampingi anak-anak didiknya. Saya amati lebih dalam. Bagus. Belum pernah saya sebegitu menikmatinya. Sejak dulu saya selalu berfikir "Apa yang membuat orang jauh-jauh datang dari luar kota, luar pulau, bahkan luar negeri hanya untuk menyaksikan dan bahkan berpartisipasi dalam event ini? Sementara warga Jember sendiri sudah semakin berkurang antusiasme nya dibanding awal-awal penyelenggaraan event JFC tersebut" Bagi saya, yang lahir dan besar di kota Jember, jujur saya tidak terlalu antusias. Karena sepanjang JFC digelar, saya hanya menyaksikan sebanyak 2x. Saat masih SMP (dan ini yang paling membuat saya malas untuk menonton lagi karena dengan badan yang cukup "imut", saya harus berjubelan dengan begitu banyak orang yang ingin menyaksikan parade dari dekat) dan yang kedua saat menemani teman-teman Backpacker dari Bandung saat Grand Carnival 2 tahun lalu. Dalam pemikiran saya, JFC memang mendunia, tapi kenapa justru tidak mampu membuat warga Jember sendiri tetap setia mendukung dan menyaksikan setiap tahunnya? Rata-rata alasan mereka sama dengan saya "Males, lapo ndelok ngono iku? Malah ndelok uwong sing ndelok JFC, sumpek-sumpekan (Malas, untuk apa menonton itu? Hanya melihat orang yang menyaksikan JFC, berdesak-desakan)" Selain itu, orang yang ingin berpartisipasi harus berfikir ulang, karena bagi mereka ini hanya "membuang uang". Karena untuk membuat satu kostum, terkadang dibutuhkan modal hingga jutaan rupiah, selain membutuhkan keterampilan dan kemampuan mendesain kostum. Tetapi alasan ini tidak berlaku bagi mereka yang benar-benar memiliki ketertarikan pada dunia fashion dan design. JFC merupakan sarana belajar, mengasah keterampilan, menambah pengalaman dan tentunya menambah teman.

Saya tidak sebegitu tertariknya pada JFC. Itu karena sudut pandang saya hanya terpaku pada satu titik. Setelah menyaksikan parade hari Minggu pagi lalu, saya baru sadar. Ini merupakan prestasi warga Jember yang mendunia. Ini juga merupakan prestasi Jember.  Patut diapresiasi. Layak ikut berbangga hati. Saya terkagum-kagum saat salah satu model memakai kostum Borobudur, hampir sama dengan kostum yang digunakan Putri Indonesia Elvira Devinamira dalam ajang Internasional, Miss Universe dan sukses mengantarkan Elvira menyabet gelar Best National Costume. Dan ternyata, setelah sempat googling, saya menemukan bukan hanya itu saja prestasi Om Dynand dalam mengantarkan wakil-wakil Indonesia meraih gelar "ekstra" dalam ajang kecantikan Internasional. Tetapi sudah cukup banyak. Bangga. Saya ekspresikan kebanggaan itu dalam bentuk senyuman dan applause untuk teman-teman yang sedang berparade. Kagum. Sungguh baru kali ini saya kagum pada apa yang saya lihat tentang JFC. Sayangnya saya tidak membawa handphone berkamera untuk mengabadikan, sekedar memotret atau merekam jalannya parade. But it's not a big problem. Toh saya masih tetap bisa menikmati. Jember tidak hanya "punya" JFC. Tetapi juga punya JMB, Jember Marching Band yang selama 2 tahun berturut-turut sukses menggelar ajang Internasional yaitu Jember Open Marching Competition (JOMC) yang diikuti team-team Marching Band serta Color Guard dari berbagai kota di Indonesia bahkan mancanegara. Belum lagi prestasi team Jember Marching Band yang sempat memenangi ajang World Music Championship yang digelar di Thailand pada akhir tahun 2014 lalu. Cukup membanggakan.

Jember, kota kecil yang sesungguhnya penuh pesona. Kota yang berjuluk Kota Tembakau ini, memang terletak di hampir ujung Timur Pulau Jawa. Tidak sebesar Malang apalagi Surabaya, kota yang terbilang "sepi" tanpa banyak Mall. Hanya beberapa pusat perbelanjaan. Terkenal dengan makanan ringan khasnya, suwar-suwir, Jember juga memiliki potensi wisata yang tidak kalah menarik dengan tempat lain di sekitarnya seperti Bondowoso, Banyuwangi dan Situbondo. Jember punya Pantai Papuma (Pasir Putih Malikan) yang indah, Pantai Watu Ulo yang terkenal dengan "cerita magis" nya, Air Terjun Tancak, Wisata Rembangan, Pantai Bandealit, dan masih banyak lagi. Mungkin bagi warga Jember sendiri sedikit remeh. Lebih banyak mencari tempat wisata yang jauh, yang sudah terkenal, bahkan walaupun harus merogoh kocek yang tidak sedikit. Tetapi lupa bahwa banyak tempat yang bisa disusuri di kota kecil tercinta ini. Dan itu terjadi juga pada saya. Lahir dan besar di Jember, tidak lantas membuat saya lebih Bangga dengan kota ini. Baru setelah merenungi, mencoba memandang kota ini dari sisi lain, saya sadar bahwa apapun dan bagaimanapun, saya tetap harus bangga. Belajar mencintai tempat yang nyaris 26 tahun ini saya tinggali. Saya masih terus berusaha menggali rasa cinta saya pada Jember. Terlambat? Mungkin. Tapi tidak masalah, lebih baik daripada sama sekali tidak merasa cinta dan merasa memiliki kota ini. Jember, mungkin suatu saat saya akan meninggalkan kota ini. Merantau. Atau mungkin mengikuti suami saya diluar kota. Mungkin. Jodoh siapa lah yang bisa menebak :) Tapi yang pasti, yang ingin saya lakukan saat ini adalah melihat Jember dari sudut pandang lain. Mencari sisi-sisi baru untuk menumbuhkan rasa cinta saya. Dari perjalanan Minggu pagi lalui saya menemukan suatu gambaran :

Cobalah sesekali melihat dari sudut pandang yang baru. Dari kacamata yang berbeda. Bukan hanya terpaku pada satu titik. Maka kau akan menemukan bukan hanya satu atau dua, tetapi banyak sekali hal baru. Belajar bijaksana dengan cara yang sederhana.
- F.I.S.H -