Ayah masih inget nggak? Waktu itu aku masih belum lulus sekolah.
Bahkan belum ujian nasional bahkan. Saat secara spontan aku menyodorkan
selembar kertas kepada ayah. “Aku pengen sekolah disini Yah” kataku waktu itu. Dan
kekecewaan langsung menyeruak di dadaku saat Ayah dengan sinis menjawab
“Sekolah apa itu? Mau jadi apa kamu? Biayanya mahal juga. Nggak Usah!!!” aku
hanya sempat mengutarakan kembali “Aku pengen sekolah di situ Yah. Biaya ini
mahal karena sekolah seperti ini gak banyak di Jawa Timur.”
Ya…Airlangga Broadcasting Education yang pertama kali “menawan
hatiku”. Entah kenapa tiba-tiba aku memberanikan diri untuk meminta kepada Ayah
agar memasukkan aku ke sekolah itu. Lebih tepatnya berkuliah setelah aku lulus
SMA. Aku sama sekali tidak tau apakah itu sebuah cita-cita atau sekedar
keinginan yang benar-benar alami dari dalam diri. Yang pasti bukan karena
ikut-ikutan trend. Karena justru pada
saat itu, sekitar 5 tahun lalu, bahkan tidak ada teman-teman seperjuanganku
yang melirik sekolah broadcasting.
Waktu terus berlalu. Aku pun telah dinyatakan lulus dengan nilai
yang cukup memuaskan untuk ukuran anak yang biasa-biasa saja di bidang akademik
seperti aku. Berbagai usaha agar bias lolos dalam SPMB (saat ini SNMPTN) sudah
dilakukan. Aku mengurus semuanya sendiri. Waktu itu aku memilih untuk pergi ke
Malang. Aku memang lebih suka jika aku diberi kepercayaan untuk pergi sendiri
dan mengurus segala sesuatunya sendiri dibanding harus ‘dibuntuti’ orang tua.
Tidak ada kebebasan. Saat itu memang aku belum berhasil menembus SPMB untuk
Universitas yang aku inginkan. Dan entah kenapa saat Ayah mengajakku bicara
mengenai alternative pilihan
Universitas lainnya. Saat itu aku memilih Kampus Putih, sebuah Universitas
Swasta terkenal di Jawa Timur. Pilihanku pun sedikit ‘aneh’ : Ilmu Komunikasi
dan Psikologi mengingat aku berasal dari jurusan IPA. Tapi itulah aku.
Sebenarnya otak dan hatiku cenderung ke Ilmu-Ilmu Sosial. Tetapi kupaksakan
saja 2 tahun bergelut dengan MAtematika, Fisika, Kimia dkk :D Aku lebih
menekankan pilihan kepada Ilmu Komunikasi untuk mengobati kekecewaan karena
Ayah melarangku masuk Sekolah Broadcasting. Paling tidak, apa yang akan aku
pelajari hampir sama. Tapi pada akhirnya aku mengurungkan niatku untuk kuliah
di luar kota. Aku ingin tetap di Jember untuk menemani Ibu. Ya…dan akhirnya aku
memutuskan mengikuti ujian lokal yang diadakan oleh Universitas Negeri di
kotaku. Mengenai pilihan jurusan pun
selalu jadi bahan perdebatan antara aku dan Ayah. Begitulah, Ayah ingin aku
memilih jurusan Akuntansi. Pada akhirnya aku mengiyakan, walaupun aku sedikit
‘curang’. Pada saat ujian, aku memilih Manajemen, jurusan yang sesuai
keinginanku sebagai pilihan pertama. Dan aku lolos. Dimulailah hari-hariku
sebagai mahasiswi. Sampai aku menjadi mahasiswi pun Ayah tetap mengatur
jalanku. Ayah ingin aku masuk jurusan keuangan. Tapi aku dengan tegas menolak
karena aku tau, kemampuan berhitungku jauh di bawah kemampuan nalar dan
hafalanku. Dan pilihanku jatuh pada pemasaran.
Hingga suatu hari, saat Ayah tiada, serasa aku mendapat petunjuk.
Entahlah, aku menemukan selembar kertas. Hasil tes yang aku lakukan saat aku
masih SMA. Te situ diadakan oleh sebuah Bimbingan Belajar yang bekerja sama
dengan sekolahku. Disana dengan jelas tertulis bahwa kemampuanku cenderung ke
jurusan IPS. Namun aku memaksakan masuk IPA. Demi Ayah. Dan yang lebih membuat
aku merasa menyesal karena tidak bisa memperjuangkan keinginanku adalah, hasil
tes itu menyebutkan 70% jurusan yang cocok untukku adalah Broadcasting. Disusul
Ilmu Komunikasi dan Jurusan Seni. Yaa…ketiganya memang sangat aku sukai. Tapi
sangat tidak disukai oleh Ayah :D Memang bukan hobi, tapi juga bukan bakat
turunan. Karena Ayahku justru seorang pendidik yang sangat disiplin dan sangat
ingin anak-anaknya mengikuti jejaknya : Menjadi seorang Guru. Tapi itu bukan
jiwaku. Karena itu aku menolak keras. Terkadang aku sedikit menyesal. Karena
jika Ayah tahu biaya kuliahku di Universitas Negeri tempatku berkuliah, lebih
mahal daripada Sekolah Broadcasting yang aku inginkan. Tapi apalah daya semua
sudah terlanjur. Aku hanya bisa mengobatinya dengan kegiatan yang lebih
positif. Belajar menjadi penyiar, mengisi acara di stasiun radio sebagai
penyiar tamu dan menjadi reporter merupakan salah satu langkah kecil untuk
menapaki dunia broadcasting. Aku pun tidak tahu apakah ini sebuah cita-cita.
Karena jujur aku juga sudah lupa, apa jawabanku saat ditanya apa cita-citaku
saat masih kecil. Tapi beranjak dewasa aku selalu berkata “Aku ingin menjadi
seorang broadcaster” walaupun belum banyak yang aku lakukan untuk mencapai
mimpi itu. Hope that someday my dreams will be come true. Perlahan tapi pasti.
Who know’s kalau suatu saat aku bias ‘menaklukkan’ Jakarta?
Beberapa waktu lalu aku sempat bertemu dengan seseorang di kereta
api dalam perjalananku dari Malang menuju Jember, yang ternyata ku ketahui
beliau adalah seorang Pastur. Aku tidak peduli apa dan siapa dia. Tapi saat dia
bertanya “Apa cita-citamu?” aku menjawab “menjadi seorang broadcaster” dia
berkata “Good! Mulai sekarang, susunlah masa depanmu, Fevtri! Lakukan dimulai
dari hal-hal kecil, apapun yang bisa mendukung cita-citamu. Mencari celah,
bekerja di EO, menjadi penyiar atau apapun. Lakukan selama itu positif. Dan
tetap harus bisa jaga diri.” Dan itu benar-benar membuka pikiranku. Aku pun
sudah mulai meniti hal-hal kecil itu. Aku Cuma pengen nunjukin sama Ayah
disana, kalau dunia broadcasting itu tidak lebih rendah dari apa yang Ayah
pikir selama ini. Aku Cuma pengen nunjukin sama Ayah disana, kalau aku bisa
membanggakan Ayah dan Ibu dengan caraku. Bukan cara mereka. Aku berbeda. Aku
suka petualang, aku suka bebas, aku tidak suka diatur, tapi bukan berarti aku
tidak pernah menuruti kemauan mereka. Tapi paling tidak aku ingin diberi
“ruang” untuk melakukan apa yang aku ingin. Semua hal memang harus dilakukan
dengan penuh tanggung jawab. Selama mereka percaya, aku pun akan melakukan yang
terbaik demi mereka. Dan jalanku menuju dunia broadcasting (percaya atau tidak)
baru terbuka sedikit demi sedikit saat Ayah pergi. Mungkin Tuhan hanya ingin
menunjukkan seberapa keras aku bisa berjuang, aku bisa menjaga semangat untuk
menggapai apa yang aku ingin. Termasuk untuk berdebat dengan Ayah terlebih
dahulu :D