Selasa, 08 Mei 2012

Yah…Aku ingin jadi seorang broadcaster…


Ayah masih inget nggak? Waktu itu aku masih belum lulus sekolah. Bahkan belum ujian nasional bahkan. Saat secara spontan aku menyodorkan selembar kertas kepada ayah. “Aku pengen sekolah disini Yah” kataku waktu itu. Dan kekecewaan langsung menyeruak di dadaku saat Ayah dengan sinis menjawab “Sekolah apa itu? Mau jadi apa kamu? Biayanya mahal juga. Nggak Usah!!!” aku hanya sempat mengutarakan kembali “Aku pengen sekolah di situ Yah. Biaya ini mahal karena sekolah seperti ini gak banyak di Jawa Timur.”
Ya…Airlangga Broadcasting Education yang pertama kali “menawan hatiku”. Entah kenapa tiba-tiba aku memberanikan diri untuk meminta kepada Ayah agar memasukkan aku ke sekolah itu. Lebih tepatnya berkuliah setelah aku lulus SMA. Aku sama sekali tidak tau apakah itu sebuah cita-cita atau sekedar keinginan yang benar-benar alami dari dalam diri. Yang pasti bukan karena ikut-ikutan trend. Karena justru pada saat itu, sekitar 5 tahun lalu, bahkan tidak ada teman-teman seperjuanganku yang melirik sekolah broadcasting.
Waktu terus berlalu. Aku pun telah dinyatakan lulus dengan nilai yang cukup memuaskan untuk ukuran anak yang biasa-biasa saja di bidang akademik seperti aku. Berbagai usaha agar bias lolos dalam SPMB (saat ini SNMPTN) sudah dilakukan. Aku mengurus semuanya sendiri. Waktu itu aku memilih untuk pergi ke Malang. Aku memang lebih suka jika aku diberi kepercayaan untuk pergi sendiri dan mengurus segala sesuatunya sendiri dibanding harus ‘dibuntuti’ orang tua. Tidak ada kebebasan. Saat itu memang aku belum berhasil menembus SPMB untuk Universitas yang aku inginkan. Dan entah kenapa saat Ayah mengajakku bicara mengenai alternative pilihan Universitas lainnya. Saat itu aku memilih Kampus Putih, sebuah Universitas Swasta terkenal di Jawa Timur. Pilihanku pun sedikit ‘aneh’ : Ilmu Komunikasi dan Psikologi mengingat aku berasal dari jurusan IPA. Tapi itulah aku. Sebenarnya otak dan hatiku cenderung ke Ilmu-Ilmu Sosial. Tetapi kupaksakan saja 2 tahun bergelut dengan MAtematika, Fisika, Kimia dkk :D Aku lebih menekankan pilihan kepada Ilmu Komunikasi untuk mengobati kekecewaan karena Ayah melarangku masuk Sekolah Broadcasting. Paling tidak, apa yang akan aku pelajari hampir sama. Tapi pada akhirnya aku mengurungkan niatku untuk kuliah di luar kota. Aku ingin tetap di Jember untuk menemani Ibu. Ya…dan akhirnya aku memutuskan mengikuti ujian lokal yang diadakan oleh Universitas Negeri di kotaku.  Mengenai pilihan jurusan pun selalu jadi bahan perdebatan antara aku dan Ayah. Begitulah, Ayah ingin aku memilih jurusan Akuntansi. Pada akhirnya aku mengiyakan, walaupun aku sedikit ‘curang’. Pada saat ujian, aku memilih Manajemen, jurusan yang sesuai keinginanku sebagai pilihan pertama. Dan aku lolos. Dimulailah hari-hariku sebagai mahasiswi. Sampai aku menjadi mahasiswi pun Ayah tetap mengatur jalanku. Ayah ingin aku masuk jurusan keuangan. Tapi aku dengan tegas menolak karena aku tau, kemampuan berhitungku jauh di bawah kemampuan nalar dan hafalanku. Dan pilihanku jatuh pada pemasaran.
Hingga suatu hari, saat Ayah tiada, serasa aku mendapat petunjuk. Entahlah, aku menemukan selembar kertas. Hasil tes yang aku lakukan saat aku masih SMA. Te situ diadakan oleh sebuah Bimbingan Belajar yang bekerja sama dengan sekolahku. Disana dengan jelas tertulis bahwa kemampuanku cenderung ke jurusan IPS. Namun aku memaksakan masuk IPA. Demi Ayah. Dan yang lebih membuat aku merasa menyesal karena tidak bisa memperjuangkan keinginanku adalah, hasil tes itu menyebutkan 70% jurusan yang cocok untukku adalah Broadcasting. Disusul Ilmu Komunikasi dan Jurusan Seni. Yaa…ketiganya memang sangat aku sukai. Tapi sangat tidak disukai oleh Ayah :D Memang bukan hobi, tapi juga bukan bakat turunan. Karena Ayahku justru seorang pendidik yang sangat disiplin dan sangat ingin anak-anaknya mengikuti jejaknya : Menjadi seorang Guru. Tapi itu bukan jiwaku. Karena itu aku menolak keras. Terkadang aku sedikit menyesal. Karena jika Ayah tahu biaya kuliahku di Universitas Negeri tempatku berkuliah, lebih mahal daripada Sekolah Broadcasting yang aku inginkan. Tapi apalah daya semua sudah terlanjur. Aku hanya bisa mengobatinya dengan kegiatan yang lebih positif. Belajar menjadi penyiar, mengisi acara di stasiun radio sebagai penyiar tamu dan menjadi reporter merupakan salah satu langkah kecil untuk menapaki dunia broadcasting. Aku pun tidak tahu apakah ini sebuah cita-cita. Karena jujur aku juga sudah lupa, apa jawabanku saat ditanya apa cita-citaku saat masih kecil. Tapi beranjak dewasa aku selalu berkata “Aku ingin menjadi seorang broadcaster” walaupun belum banyak yang aku lakukan untuk mencapai mimpi itu. Hope that someday my dreams will be come true. Perlahan tapi pasti. Who know’s kalau suatu saat aku bias ‘menaklukkan’ Jakarta?
Beberapa waktu lalu aku sempat bertemu dengan seseorang di kereta api dalam perjalananku dari Malang menuju Jember, yang ternyata ku ketahui beliau adalah seorang Pastur. Aku tidak peduli apa dan siapa dia. Tapi saat dia bertanya “Apa cita-citamu?” aku menjawab “menjadi seorang broadcaster” dia berkata “Good! Mulai sekarang, susunlah masa depanmu, Fevtri! Lakukan dimulai dari hal-hal kecil, apapun yang bisa mendukung cita-citamu. Mencari celah, bekerja di EO, menjadi penyiar atau apapun. Lakukan selama itu positif. Dan tetap harus bisa jaga diri.” Dan itu benar-benar membuka pikiranku. Aku pun sudah mulai meniti hal-hal kecil itu. Aku Cuma pengen nunjukin sama Ayah disana, kalau dunia broadcasting itu tidak lebih rendah dari apa yang Ayah pikir selama ini. Aku Cuma pengen nunjukin sama Ayah disana, kalau aku bisa membanggakan Ayah dan Ibu dengan caraku. Bukan cara mereka. Aku berbeda. Aku suka petualang, aku suka bebas, aku tidak suka diatur, tapi bukan berarti aku tidak pernah menuruti kemauan mereka. Tapi paling tidak aku ingin diberi “ruang” untuk melakukan apa yang aku ingin. Semua hal memang harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Selama mereka percaya, aku pun akan melakukan yang terbaik demi mereka. Dan jalanku menuju dunia broadcasting (percaya atau tidak) baru terbuka sedikit demi sedikit saat Ayah pergi. Mungkin Tuhan hanya ingin menunjukkan seberapa keras aku bisa berjuang, aku bisa menjaga semangat untuk menggapai apa yang aku ingin. Termasuk untuk berdebat dengan Ayah terlebih dahulu :D