Minggu pagi kemarin, adalah
pertama kalinya saya mencoba hal baru yang sebenarnya sudah sejak lama ingin
saya lakukan. Bersepeda keliling kota. Karena memang kebetulan ada keperluan,
saya memutuskan untuk nggowes menuju daerah Talangsari. Berangkat jam setengah
7 pagi, saya melewati rute Jl PB Sudirman-Jl Bedadung-Jl Citarum-Jl Ciliwung-Jl
A.Yani-GNI-Jl Wahid Hasyim-Ponpes ASHRI-Jl HOS Cokroaminoto-Jl Gajah Mada-Alun2
Kota Jember. Untuk pemula, mungkin cukup melelahkan. Apalagi setiap hari
terbiasa ngegas motor, bukan nggowes :) Melewati rute yang jarang sekali saya
lalui, ada banyak hal yang muncul di benak saya. Ternyata, banyak sudut kota
yang belum saya jamah. Banyak bertemu dengan orang-orang baru yang sama sekali
tidak saya kenal, saya mencoba mengedarkan senyuman. Dan itu membuat saya merasa
sedikit lebih bahagia. Terlepas dari kenal atau tidak. Semakin jauh jarak yang ditempuh, semakin banyak yang ditemui. Bapak-bapak tua yang masih gigih bekerja sebagai tukang sapu toko, Ibu-Ibu yang penuh semangat menarik gerobak sampah yang seharusnya menjadi pekerjaan bagi seorang laki-laki, dan banyak lagi. Dari sini saya semakin merasa bahwa
selama ini saya kurang memanjakan diri dengan hal-hal yang baru diluar
aktifitas kerja sehari-hari. Sesampainya di tempat tujuan, memang saya tidak
menemui orang yang dimaksud. Pada akhirnya saya haru melanjutkan perjalanan.
Saya berusaha menikmati setiap jengkal yang saya lalui. Melihat langit dan awan
yang cerah, pegunungan yang tampak begitu jelas walaupun dengan setting
pemandangan kota, anak-anak yang dengan ceria bergerombol, bermain bola,
bersepeda, bahkan ada yang begitu menikmati waktu berkumpul bersama Ayah Ibunya, tak peduli hanya dengan duduk beralaskan selembar koran di pinggiran jalan kota. Sesuatu yang baru. Beda dari biasanya. Jarang sekali saya lihat dalam keseharian. Satu lagi kebahagiaan
yang saya dapat. Memang (mungkin) terkesan remeh di mata orang lain. Tapi tidak
bagi saya. Lalu sesampainya di Jl Gajah Mada, sayup-sayup saya mendengar alunan
musik dari kejauhan. Marching Band. Saya pikir, mungkin team Jember Marching
Band sedang berlatih. Ternyata semakin saya mendekat, saya melihat kumpulan
orang berbaju warna-warni, dengan fashion yang spektakuler. Barulah saya
menyadari bahwa lagu Jai Ho yang saya dengar tadi adalah permainan musik dari
team Marching Band JFC (Jember Fashion Carnaval) yang dibelakangnya diiringi
dengan parade kostum teman-teman JFC, didampingi beberapa panitia yang terlihat
sedikit sibuk. Saya berhenti. Menikmati dengan seksama. Di barisan depan tampak
Om Dynand Fariz, pencetus Jember Fashion Carnaval yang kini sudah mendunia.
Beliau tampak bersemangat mendampingi anak-anak didiknya. Saya amati lebih
dalam. Bagus. Belum pernah saya sebegitu menikmatinya. Sejak dulu saya selalu
berfikir "Apa yang membuat orang jauh-jauh datang dari luar kota, luar
pulau, bahkan luar negeri hanya untuk menyaksikan dan bahkan berpartisipasi
dalam event ini? Sementara warga Jember sendiri sudah semakin berkurang antusiasme nya dibanding awal-awal penyelenggaraan event JFC tersebut" Bagi saya, yang lahir dan besar di kota Jember, jujur
saya tidak terlalu antusias. Karena sepanjang JFC digelar, saya hanya menyaksikan
sebanyak 2x. Saat masih SMP (dan ini yang paling membuat saya malas untuk
menonton lagi karena dengan badan yang cukup "imut", saya harus berjubelan dengan
begitu banyak orang yang ingin menyaksikan parade dari dekat) dan yang kedua
saat menemani teman-teman Backpacker dari Bandung saat Grand Carnival 2 tahun
lalu. Dalam pemikiran saya, JFC memang mendunia, tapi kenapa justru tidak mampu membuat warga Jember sendiri tetap setia mendukung dan menyaksikan setiap tahunnya? Rata-rata alasan mereka sama
dengan saya "Males, lapo ndelok ngono iku? Malah ndelok uwong sing ndelok
JFC, sumpek-sumpekan (Malas, untuk apa menonton itu? Hanya melihat orang yang
menyaksikan JFC, berdesak-desakan)" Selain itu, orang yang ingin berpartisipasi harus berfikir ulang, karena bagi mereka ini hanya "membuang uang". Karena untuk membuat satu kostum, terkadang dibutuhkan
modal hingga jutaan rupiah, selain membutuhkan keterampilan dan kemampuan
mendesain kostum. Tetapi alasan ini tidak berlaku bagi mereka yang benar-benar memiliki ketertarikan pada dunia fashion dan design. JFC merupakan sarana belajar, mengasah keterampilan, menambah pengalaman dan tentunya menambah teman.
Saya tidak sebegitu tertariknya pada JFC. Itu karena sudut pandang saya
hanya terpaku pada satu titik. Setelah menyaksikan parade hari Minggu pagi
lalu, saya baru sadar. Ini merupakan prestasi warga Jember
yang mendunia. Ini juga merupakan prestasi Jember. Patut diapresiasi. Layak ikut berbangga hati. Saya
terkagum-kagum saat salah satu model memakai kostum Borobudur, hampir sama dengan
kostum yang digunakan Putri Indonesia Elvira Devinamira dalam ajang
Internasional, Miss Universe dan sukses mengantarkan Elvira menyabet gelar Best
National Costume. Dan ternyata, setelah sempat googling, saya
menemukan bukan hanya itu saja prestasi Om Dynand dalam mengantarkan
wakil-wakil Indonesia meraih gelar "ekstra" dalam ajang kecantikan
Internasional. Tetapi sudah cukup banyak. Bangga. Saya ekspresikan kebanggaan itu dalam bentuk senyuman dan applause untuk teman-teman yang sedang berparade. Kagum. Sungguh baru kali ini saya kagum pada apa yang saya lihat tentang JFC. Sayangnya saya tidak membawa
handphone berkamera untuk mengabadikan, sekedar memotret atau merekam jalannya
parade. But it's not a big problem. Toh saya masih tetap bisa menikmati. Jember tidak hanya "punya" JFC. Tetapi juga punya JMB, Jember Marching Band yang selama 2 tahun berturut-turut sukses menggelar ajang Internasional yaitu Jember Open Marching Competition (JOMC) yang diikuti team-team Marching Band serta Color Guard dari berbagai kota di Indonesia bahkan mancanegara. Belum
lagi prestasi team Jember Marching Band yang sempat memenangi ajang World Music
Championship yang digelar di Thailand pada akhir tahun 2014 lalu. Cukup membanggakan.
Jember, kota kecil yang
sesungguhnya penuh pesona. Kota yang berjuluk Kota Tembakau ini, memang
terletak di hampir ujung Timur Pulau Jawa. Tidak sebesar Malang apalagi Surabaya, kota yang terbilang "sepi" tanpa banyak Mall. Hanya beberapa pusat perbelanjaan. Terkenal dengan makanan ringan
khasnya, suwar-suwir, Jember juga memiliki potensi wisata yang tidak kalah
menarik dengan tempat lain di sekitarnya seperti Bondowoso, Banyuwangi dan
Situbondo. Jember punya Pantai Papuma (Pasir Putih Malikan) yang indah, Pantai
Watu Ulo yang terkenal dengan "cerita magis" nya, Air Terjun Tancak,
Wisata Rembangan, Pantai Bandealit, dan masih banyak lagi. Mungkin bagi warga
Jember sendiri sedikit remeh. Lebih banyak mencari tempat wisata yang jauh,
yang sudah terkenal, bahkan walaupun harus merogoh kocek yang tidak sedikit.
Tetapi lupa bahwa banyak tempat yang bisa disusuri di kota kecil tercinta ini.
Dan itu terjadi juga pada saya. Lahir dan besar di Jember, tidak lantas membuat
saya lebih Bangga dengan kota ini. Baru setelah merenungi, mencoba memandang
kota ini dari sisi lain, saya sadar bahwa apapun dan bagaimanapun, saya tetap
harus bangga. Belajar mencintai tempat yang nyaris 26 tahun ini saya tinggali.
Saya masih terus berusaha menggali rasa cinta saya pada Jember. Terlambat?
Mungkin. Tapi tidak masalah, lebih baik daripada sama sekali tidak merasa cinta
dan merasa memiliki kota ini. Jember, mungkin suatu saat saya akan meninggalkan
kota ini. Merantau. Atau mungkin mengikuti suami saya diluar kota. Mungkin. Jodoh siapa lah yang bisa menebak :) Tapi yang pasti, yang ingin saya lakukan saat ini adalah melihat
Jember dari sudut pandang lain. Mencari sisi-sisi baru untuk menumbuhkan rasa
cinta saya. Dari perjalanan Minggu pagi lalui saya menemukan suatu gambaran :
Cobalah sesekali melihat dari sudut pandang yang
baru. Dari kacamata yang berbeda. Bukan hanya terpaku pada satu titik. Maka kau
akan menemukan bukan hanya satu atau dua, tetapi banyak sekali hal baru. Belajar
bijaksana dengan cara yang sederhana.
- F.I.S.H -