Minggu, 15 Februari 2015

(Nyaris) 26 Tahun, dan Saya (Tidak) Bangga Menjadi Warga Jember

Minggu pagi kemarin, adalah pertama kalinya saya mencoba hal baru yang sebenarnya sudah sejak lama ingin saya lakukan. Bersepeda keliling kota. Karena memang kebetulan ada keperluan, saya memutuskan untuk nggowes menuju daerah Talangsari. Berangkat jam setengah 7 pagi, saya melewati rute Jl PB Sudirman-Jl Bedadung-Jl Citarum-Jl Ciliwung-Jl A.Yani-GNI-Jl Wahid Hasyim-Ponpes ASHRI-Jl HOS Cokroaminoto-Jl Gajah Mada-Alun2 Kota Jember. Untuk pemula, mungkin cukup melelahkan. Apalagi setiap hari terbiasa ngegas motor, bukan nggowes :) Melewati rute yang jarang sekali saya lalui, ada banyak hal yang muncul di benak saya. Ternyata, banyak sudut kota yang belum saya jamah. Banyak bertemu dengan orang-orang baru yang sama sekali tidak saya kenal, saya mencoba mengedarkan senyuman. Dan itu membuat saya merasa sedikit lebih bahagia. Terlepas dari kenal atau tidak. Semakin jauh jarak yang ditempuh, semakin banyak yang ditemui. Bapak-bapak tua yang masih gigih bekerja sebagai tukang sapu toko, Ibu-Ibu yang penuh semangat menarik gerobak sampah yang seharusnya menjadi pekerjaan bagi seorang laki-laki, dan banyak lagi. Dari sini saya semakin merasa bahwa selama ini saya kurang memanjakan diri dengan hal-hal yang baru diluar aktifitas kerja sehari-hari. Sesampainya di tempat tujuan, memang saya tidak menemui orang yang dimaksud. Pada akhirnya saya haru melanjutkan perjalanan. Saya berusaha menikmati setiap jengkal yang saya lalui. Melihat langit dan awan yang cerah, pegunungan yang tampak begitu jelas walaupun dengan setting pemandangan kota, anak-anak yang dengan ceria bergerombol, bermain bola, bersepeda, bahkan ada yang begitu menikmati waktu berkumpul bersama Ayah Ibunya, tak peduli hanya dengan duduk beralaskan selembar koran di pinggiran jalan kota. Sesuatu yang baru. Beda dari biasanya. Jarang sekali saya lihat dalam keseharian. Satu lagi kebahagiaan yang saya dapat. Memang (mungkin) terkesan remeh di mata orang lain. Tapi tidak bagi saya. Lalu sesampainya di Jl Gajah Mada, sayup-sayup saya mendengar alunan musik dari kejauhan. Marching Band. Saya pikir, mungkin team Jember Marching Band sedang berlatih. Ternyata semakin saya mendekat, saya melihat kumpulan orang berbaju warna-warni, dengan fashion yang spektakuler. Barulah saya menyadari bahwa lagu Jai Ho yang saya dengar tadi adalah permainan musik dari team Marching Band JFC (Jember Fashion Carnaval) yang dibelakangnya diiringi dengan parade kostum teman-teman JFC, didampingi beberapa panitia yang terlihat sedikit sibuk. Saya berhenti. Menikmati dengan seksama. Di barisan depan tampak Om Dynand Fariz, pencetus Jember Fashion Carnaval yang kini sudah mendunia. Beliau tampak bersemangat mendampingi anak-anak didiknya. Saya amati lebih dalam. Bagus. Belum pernah saya sebegitu menikmatinya. Sejak dulu saya selalu berfikir "Apa yang membuat orang jauh-jauh datang dari luar kota, luar pulau, bahkan luar negeri hanya untuk menyaksikan dan bahkan berpartisipasi dalam event ini? Sementara warga Jember sendiri sudah semakin berkurang antusiasme nya dibanding awal-awal penyelenggaraan event JFC tersebut" Bagi saya, yang lahir dan besar di kota Jember, jujur saya tidak terlalu antusias. Karena sepanjang JFC digelar, saya hanya menyaksikan sebanyak 2x. Saat masih SMP (dan ini yang paling membuat saya malas untuk menonton lagi karena dengan badan yang cukup "imut", saya harus berjubelan dengan begitu banyak orang yang ingin menyaksikan parade dari dekat) dan yang kedua saat menemani teman-teman Backpacker dari Bandung saat Grand Carnival 2 tahun lalu. Dalam pemikiran saya, JFC memang mendunia, tapi kenapa justru tidak mampu membuat warga Jember sendiri tetap setia mendukung dan menyaksikan setiap tahunnya? Rata-rata alasan mereka sama dengan saya "Males, lapo ndelok ngono iku? Malah ndelok uwong sing ndelok JFC, sumpek-sumpekan (Malas, untuk apa menonton itu? Hanya melihat orang yang menyaksikan JFC, berdesak-desakan)" Selain itu, orang yang ingin berpartisipasi harus berfikir ulang, karena bagi mereka ini hanya "membuang uang". Karena untuk membuat satu kostum, terkadang dibutuhkan modal hingga jutaan rupiah, selain membutuhkan keterampilan dan kemampuan mendesain kostum. Tetapi alasan ini tidak berlaku bagi mereka yang benar-benar memiliki ketertarikan pada dunia fashion dan design. JFC merupakan sarana belajar, mengasah keterampilan, menambah pengalaman dan tentunya menambah teman.

Saya tidak sebegitu tertariknya pada JFC. Itu karena sudut pandang saya hanya terpaku pada satu titik. Setelah menyaksikan parade hari Minggu pagi lalu, saya baru sadar. Ini merupakan prestasi warga Jember yang mendunia. Ini juga merupakan prestasi Jember.  Patut diapresiasi. Layak ikut berbangga hati. Saya terkagum-kagum saat salah satu model memakai kostum Borobudur, hampir sama dengan kostum yang digunakan Putri Indonesia Elvira Devinamira dalam ajang Internasional, Miss Universe dan sukses mengantarkan Elvira menyabet gelar Best National Costume. Dan ternyata, setelah sempat googling, saya menemukan bukan hanya itu saja prestasi Om Dynand dalam mengantarkan wakil-wakil Indonesia meraih gelar "ekstra" dalam ajang kecantikan Internasional. Tetapi sudah cukup banyak. Bangga. Saya ekspresikan kebanggaan itu dalam bentuk senyuman dan applause untuk teman-teman yang sedang berparade. Kagum. Sungguh baru kali ini saya kagum pada apa yang saya lihat tentang JFC. Sayangnya saya tidak membawa handphone berkamera untuk mengabadikan, sekedar memotret atau merekam jalannya parade. But it's not a big problem. Toh saya masih tetap bisa menikmati. Jember tidak hanya "punya" JFC. Tetapi juga punya JMB, Jember Marching Band yang selama 2 tahun berturut-turut sukses menggelar ajang Internasional yaitu Jember Open Marching Competition (JOMC) yang diikuti team-team Marching Band serta Color Guard dari berbagai kota di Indonesia bahkan mancanegara. Belum lagi prestasi team Jember Marching Band yang sempat memenangi ajang World Music Championship yang digelar di Thailand pada akhir tahun 2014 lalu. Cukup membanggakan.

Jember, kota kecil yang sesungguhnya penuh pesona. Kota yang berjuluk Kota Tembakau ini, memang terletak di hampir ujung Timur Pulau Jawa. Tidak sebesar Malang apalagi Surabaya, kota yang terbilang "sepi" tanpa banyak Mall. Hanya beberapa pusat perbelanjaan. Terkenal dengan makanan ringan khasnya, suwar-suwir, Jember juga memiliki potensi wisata yang tidak kalah menarik dengan tempat lain di sekitarnya seperti Bondowoso, Banyuwangi dan Situbondo. Jember punya Pantai Papuma (Pasir Putih Malikan) yang indah, Pantai Watu Ulo yang terkenal dengan "cerita magis" nya, Air Terjun Tancak, Wisata Rembangan, Pantai Bandealit, dan masih banyak lagi. Mungkin bagi warga Jember sendiri sedikit remeh. Lebih banyak mencari tempat wisata yang jauh, yang sudah terkenal, bahkan walaupun harus merogoh kocek yang tidak sedikit. Tetapi lupa bahwa banyak tempat yang bisa disusuri di kota kecil tercinta ini. Dan itu terjadi juga pada saya. Lahir dan besar di Jember, tidak lantas membuat saya lebih Bangga dengan kota ini. Baru setelah merenungi, mencoba memandang kota ini dari sisi lain, saya sadar bahwa apapun dan bagaimanapun, saya tetap harus bangga. Belajar mencintai tempat yang nyaris 26 tahun ini saya tinggali. Saya masih terus berusaha menggali rasa cinta saya pada Jember. Terlambat? Mungkin. Tapi tidak masalah, lebih baik daripada sama sekali tidak merasa cinta dan merasa memiliki kota ini. Jember, mungkin suatu saat saya akan meninggalkan kota ini. Merantau. Atau mungkin mengikuti suami saya diluar kota. Mungkin. Jodoh siapa lah yang bisa menebak :) Tapi yang pasti, yang ingin saya lakukan saat ini adalah melihat Jember dari sudut pandang lain. Mencari sisi-sisi baru untuk menumbuhkan rasa cinta saya. Dari perjalanan Minggu pagi lalui saya menemukan suatu gambaran :

Cobalah sesekali melihat dari sudut pandang yang baru. Dari kacamata yang berbeda. Bukan hanya terpaku pada satu titik. Maka kau akan menemukan bukan hanya satu atau dua, tetapi banyak sekali hal baru. Belajar bijaksana dengan cara yang sederhana.
- F.I.S.H -

Kamis, 08 Januari 2015

"Makhluk Asing" itu berasal dari Kota Kembang, Bandung!


Entah kapan tepatnya, tapi sekira tahun 2013. Waktu itu aku masih bekerja sebagai Bilyetris (Staff Ticketing) di PT Kereta Api Indonesia Daerah Operasional (DAOP) IX Jember. Tepatnya berdinas di Stasiun Rambipuji, sekitar 15 km dari Pusat Kota Jember, tempatku tinggal. Waktu itu dinas siang. Sampai pada saat KA Mutiara Timur Siang berhenti, muncul dua "makhluk" yang tadinya sedikit menjengkelkan. Mereka ini nyasar. Dari hasil investigasi, mereka berdua seharusnya turun di Stasiun Jember, tapi salah turun. Akhirnya mereka mengganggu petugas loket yang waktu itu kebetulan adalah aku. Mereka awalnya hanya mengurus pembatalan tiket, beli tiket baru, sampai urusan beli pulsa (karena kebetulan mereka butuh pulsa dan aku jual, akhirnya terjadilah transaksi. Hehehe)

Dua "makhluk asing" yang menggemaskan ini bernama Guntur Rahman Subiantoro dan Ridho Madya Ramadhan (masih inget banget nih nama mereka) asli Kota Kembang Bandung si Guntur, dan Ridho aku agak lupa aslinya kota mana. Karena jiwa Backpacker saya mendadak muncul, dan merasa mereka juga senasib dengan aku yang suka luntang-lantung di kota orang, akhirnya aku menawarkan "bantuan". Aku mengajak mereka pulang bersama menuju Jember Kota. Motor kesayanganku aku titipkan teman-teman yang berdinas malam harinya, lalu mereka aku ajak naik bentor (becak motor) dilanjut naik angkot dari terminal Jember menuju Stasiun Jember. Sesampainya di sekitar Alun-Alun (sekitar 200 meter dari Stasiun), kami mendapati suasana hingar bingar. Perlahan, sayup-sayup terdengar lagu-lagu Andra and The Backbone mengalun. Yakin bahwa itu memang konser Band favoritnya, Guntur mengajak untuk mampir sejenak di Alun-Alun Kota. Benar saja, dengan kondisi bawaan yang segunung, dan aku dengan pakaian kerja, kami cukup "hore-hore" duduk di pinggiran Alun-Alun sambil menikmati konser Andra and The Backbone yang sudah tidak perlu diragukan lagi kualitas musiknya. Kami benar-benar menikmati malam, sambil makan sedikit roti yang mereka bawa. Persis seperti gelandangan. Hahahaha. Senang. Belum pernah aku merasa sesenang ini bertemu teman-teman baru, dengan pengalaman yang diluar dugaan, dan sesuatu yang benar-benar tidak direncanakan.

Begitu konser selesai, kami memutuskan makan di lesehan sekitar Alun-Alun. Makan hemat ala Backpacker. Setidaknya itu bisa memperpendek waktu untuk menunggu keberangkatan Kereta Mutiara Timur Malam yang akan mengantarkan mereka melanjutkan perjalanan menuju Pulau Dewata, Bali. Mereka ini beruntung. Dari Jawa Barat, mereka sudah singgah di Jogja, Surabaya, lalu melanjutkan perjalanan ke Bali, Lombok, dan mereka juga masih sempat singgah di Bromo dan Kawah Ijen. Jujur aku iri. Bagaimana tidak, aku yang notabene asli warga Jember, bahkan belum sekalipun pernah menginjakkan kaki di Gunung Bromo dan Kawah Ijen. Miris. Tapi ya sudahlah, mendengar cerita mereka setidaknya sedikit mengobati :D Planning menembus Pulau Lombok memang berjalan. Dan di akhir pertemuan, mereka kembali ke Jember untuk menonton Grand Carnival dari Jember Fashion Carnaval yang sudah terkenal di pelosok negeri, bahkan sampai ke mancanegara. Mereka sempat mencicipi gado-gado favoritku di dekat Stasiun Jember juga. Mereka bilang rasanya enak. Hehehehe. Sayangnya di tahun 2014 kesempatan itu tidak datang lagi. Faktor kesibukan dan beberapa faktor lainnya membuat jadwal bentrok dan kami tidak bisa bertemu lagi. Semoga next time yaa kita bisa Backpacker-an bareng-bareng brother :)

Senin, 15 Desember 2014

Menjelang 3 bulan pertama :)



Sudah hampir 3 bulan aku berada di tempat baru. "Sekolah" baru. Mulai belajar dari awal lagi. Tempat yang asing, belum pernah aku jamah namun sudah sering aku dengar namanya. Sebuah desa kecil di salah satu sudut kota Jember yang berjarak kurang lebih 1 jam perjalanan dengan kendaraan bermotor. Awalnya aku memutuskan untuk tinggal ditempat kost. Setelah mencari informasi, ada satu tempat rekomendasi dari teman yang bisa disewa. Tempatnya cukup enak, tinggal dengan keluarga yang cukup ramah dengan 1 anak yang lucu. Jaraknya pun tidak terlalu jauh, mungkin tidak sampai 50 meter dari "sekolah" baruku. Minggu pertama aku merasa cukup nyaman tinggal disini, masalah mulai muncul di minggu kedua. Aku lebih sering pulang kerumah. Entah karena mulai merasa kurang nyaman, entah karena sepi hiburan atau merasa lebih baik pulang karena jarak tempuh yang tidak terlalu jauh (sekitar 30-40 km). Mungkin juga karena ketiga alasan itu menyatu, sering berputar-putar di otak. Aku mulai mencari alternatif lain. Kendaraan umum. Karena aku paham dengan kondisi tubuhku. Aku perempuan, aku punya batas fisik, aku punya penyakit yang berhubungan dengan paru-paru, dan aku tidak ingin memaksakan diri dengan bersepeda motor setiap hari, pulang pergi, dengan waktu tempuh 1 jam.. Bersepeda motor dari rumah ke "sekolah" memang mengasyikkan. Banyak pemandangan sawah menghijau di sepanjang perjalanan. Namun kembali lagi pada alasan fisik. Aku mulai mencari "formula" yang tepat untuk bisa tiba di kantor dengan kendaraan umum, tanpa terlambat, dengan waktu tempuh lebih lama yaitu sekitar 1,5-2 jam dibanding bersepeda motor langsung dari rumah. Setelah bertanya kesana kemari, termasuk harus SKSD (Sok Kenal Sok Dekat) pada orang-orang yang juga biasa naik kendaraan umum, akhirnya aku mendapatkan waktu dan kendaraan yang pas. Itupun setelah beberapa kali mencoba, iseng menanyakan potongan harga untuk pelanggan bis, dll. Tidak bisa dipungkiri, dengan gaji 1/4 bagian dari angka 1 juta yang aku terima per minggu, memang akan lebih cepat habis jika setiap hari harus naik kendaraan umum. Tapi itu konsekuensi. Aku sudah menentukan pilihan. Buatku, lebih baik pulang, makan dan istirahat dirumah daripada harus kost. Sungguh rasanya beribu-ribu kali lebih nyaman dan menyenangkan. Biaya perjalanan sama dengan biaya kost, bahkan jika dikalkulasi dengan biaya makan, tinggal di tempat kost bisa menjadi pilihan ketiga setelah Bis dan Motor. Beberapa waktu terakhir memang sedikit lebih perhitungan dengan uang. Aku pikir masukan dari kakak dan sahabatku yang selama ini hanya mampir di telinga (masuk kanan keluar kiri) juga harus mulai dipertimbangkan. Gaji besar percuma jika tidak bisa me-manage. Gaji kecil asal selalu bersyukur dan bisa menyisihkan walau sedikit Insya Allah bisa "menghasilkan" :)

Terbiasa pulang pergi menggunakan bis, memunculkan kebiasaan lama yang dulu juga pernah aku rasakan. Harus bangun jauh lebih pagi, berangkat saat orang-orang masih bersiap, membuat waktu istirahat berkurang. Tidur menjadi suatu keharusan agar di kantor tidak mengantuk. Mencuri waktu adalah salah satu caranya. Jika sedang sangat lelah dan mengantuk, aku selalu tidur (bahkan terkadang sejak di terminal sampai di tempat tujuan. Hehehe) Mungkin lebih tepatnya saya dipanggil "Putri Tidur". Begitu naik ke dalam bis, duduk, langsung "hilang" dan terbangun saat kenek bis membangunkan "Sudah sampai Mbak" biasanya begitu. Tapi peduli apa, toh banyak karyawan-karyawan lain yang melakukan hal yang sama. Ini perjalanan menuju "sekolah". Berbeda dengan berlibur, yang sangat disayangkan jika harus dihabiskan dengan tidur tanpa menikmati setiap jengkal perjalanannya. Cukup istirahat menjadi satu syarat penting sebelum masuk "sekolah". Padahal dirumah dan di tempat sebelumnya, aku terkenal dengan sebutan "kelelawar" karena kebiasaan tidur diatas jam 1 pagi dan selalu bersahabat dengan kopi. Waktu di siang hari dihabiskan untuk tidur (karena tuntutan pekerjaan yang memberlakukan sistem shifting). Terkadang, jika tidak sedang lelah atau mengantuk, aku lebih memilih mendengarkan musik melalui handphone androidku atau membaca buku-buku novel yang aku bawa dari rumah. Aku tidak pernah membayangkan karena ini jauh lebih tidak mengenakkan daripada pengalaman sebelumnya. Berangkat jam 6 pagi dan tiba dirumah antara jam 7 atau 8 malam. But that's life. Sekali lagi perlu ditekankan dan diyakini dalam hati, setiap pilihan pasti ada konsekuensi. Jalani saja, toh tidak ada ruginya. Masih banyak orang-orang yang berjuang lebih dari ini untuk bisa berangkat mencari sesuap nasi, mengais rizki halal yang sudah Tuhan siapkan :)

Apa yang sudah diperoleh? Belum ada! Bahkan sejak pertama kali masuk disini, uang yang aku dapatkan belum ada yang dikhususkan untuk kebutuhan yang bisa meringankan beban Ebok untuk biaya hidup sehari-hari. Belum. Mungkin aku terlalu fokus pada diri sendiri. Mencari kesenangan setiap hari. Makan diluar, jalan-jalan, nongkrong, nonton film. Karena awalnya memang aku tidak suka dengan posisi di tempat baru. Stress. Ingin selalu menghibur diri dengan caraku. Tapi bagaimana aku bisa tau aku mampu atau tidak jika belum mencoba? Setidaknya jalani saja dulu. Sukur-sukur nanti bisa "jatuh cinta" :D Lalu beberapa waktu lalu aku sempat sedikit bercerita dengan sahabatku. Dari situlah aku mulai berfikir, saat ini bukan lagi saatnya bersenang-senang untuk diri sendiri. Tapi bersusah-susah untuk masa depan. Investasi dan tabungan masa depan. Ya, umurku nyaris masuk 26 tahun. hanya terhitung 2 bulan lagi. Tapi aku masih belum juga bisa mengesampingkan ego, gengsi, mengikuti gaya hidup seperti anak muda kebanyakan. Sekali-sekali memang perlu menyenangkan diri sendiri. Tapi memikirkan keluarga dan masa depan jauh lebih penting.

Ini hanya sedikit renungan untuk diri sendiri, belajar menjadi lebih dewasa dalam mengatur segala sesuatunya dan tidak berfikir dalam jangka pendek. Lebih baik lagi jika bisa membuka mata dan fikiran orang lain untuk mulai sama-sama berbenah. Mempersiapkan masa depan dengan lebih baik. Butuh waktu, butuh pembimbing, tapi juga butuh niat yang kuat dari dalam hati. Bismillah... :)

Selasa, 08 Mei 2012

Yah…Aku ingin jadi seorang broadcaster…


Ayah masih inget nggak? Waktu itu aku masih belum lulus sekolah. Bahkan belum ujian nasional bahkan. Saat secara spontan aku menyodorkan selembar kertas kepada ayah. “Aku pengen sekolah disini Yah” kataku waktu itu. Dan kekecewaan langsung menyeruak di dadaku saat Ayah dengan sinis menjawab “Sekolah apa itu? Mau jadi apa kamu? Biayanya mahal juga. Nggak Usah!!!” aku hanya sempat mengutarakan kembali “Aku pengen sekolah di situ Yah. Biaya ini mahal karena sekolah seperti ini gak banyak di Jawa Timur.”
Ya…Airlangga Broadcasting Education yang pertama kali “menawan hatiku”. Entah kenapa tiba-tiba aku memberanikan diri untuk meminta kepada Ayah agar memasukkan aku ke sekolah itu. Lebih tepatnya berkuliah setelah aku lulus SMA. Aku sama sekali tidak tau apakah itu sebuah cita-cita atau sekedar keinginan yang benar-benar alami dari dalam diri. Yang pasti bukan karena ikut-ikutan trend. Karena justru pada saat itu, sekitar 5 tahun lalu, bahkan tidak ada teman-teman seperjuanganku yang melirik sekolah broadcasting.
Waktu terus berlalu. Aku pun telah dinyatakan lulus dengan nilai yang cukup memuaskan untuk ukuran anak yang biasa-biasa saja di bidang akademik seperti aku. Berbagai usaha agar bias lolos dalam SPMB (saat ini SNMPTN) sudah dilakukan. Aku mengurus semuanya sendiri. Waktu itu aku memilih untuk pergi ke Malang. Aku memang lebih suka jika aku diberi kepercayaan untuk pergi sendiri dan mengurus segala sesuatunya sendiri dibanding harus ‘dibuntuti’ orang tua. Tidak ada kebebasan. Saat itu memang aku belum berhasil menembus SPMB untuk Universitas yang aku inginkan. Dan entah kenapa saat Ayah mengajakku bicara mengenai alternative pilihan Universitas lainnya. Saat itu aku memilih Kampus Putih, sebuah Universitas Swasta terkenal di Jawa Timur. Pilihanku pun sedikit ‘aneh’ : Ilmu Komunikasi dan Psikologi mengingat aku berasal dari jurusan IPA. Tapi itulah aku. Sebenarnya otak dan hatiku cenderung ke Ilmu-Ilmu Sosial. Tetapi kupaksakan saja 2 tahun bergelut dengan MAtematika, Fisika, Kimia dkk :D Aku lebih menekankan pilihan kepada Ilmu Komunikasi untuk mengobati kekecewaan karena Ayah melarangku masuk Sekolah Broadcasting. Paling tidak, apa yang akan aku pelajari hampir sama. Tapi pada akhirnya aku mengurungkan niatku untuk kuliah di luar kota. Aku ingin tetap di Jember untuk menemani Ibu. Ya…dan akhirnya aku memutuskan mengikuti ujian lokal yang diadakan oleh Universitas Negeri di kotaku.  Mengenai pilihan jurusan pun selalu jadi bahan perdebatan antara aku dan Ayah. Begitulah, Ayah ingin aku memilih jurusan Akuntansi. Pada akhirnya aku mengiyakan, walaupun aku sedikit ‘curang’. Pada saat ujian, aku memilih Manajemen, jurusan yang sesuai keinginanku sebagai pilihan pertama. Dan aku lolos. Dimulailah hari-hariku sebagai mahasiswi. Sampai aku menjadi mahasiswi pun Ayah tetap mengatur jalanku. Ayah ingin aku masuk jurusan keuangan. Tapi aku dengan tegas menolak karena aku tau, kemampuan berhitungku jauh di bawah kemampuan nalar dan hafalanku. Dan pilihanku jatuh pada pemasaran.
Hingga suatu hari, saat Ayah tiada, serasa aku mendapat petunjuk. Entahlah, aku menemukan selembar kertas. Hasil tes yang aku lakukan saat aku masih SMA. Te situ diadakan oleh sebuah Bimbingan Belajar yang bekerja sama dengan sekolahku. Disana dengan jelas tertulis bahwa kemampuanku cenderung ke jurusan IPS. Namun aku memaksakan masuk IPA. Demi Ayah. Dan yang lebih membuat aku merasa menyesal karena tidak bisa memperjuangkan keinginanku adalah, hasil tes itu menyebutkan 70% jurusan yang cocok untukku adalah Broadcasting. Disusul Ilmu Komunikasi dan Jurusan Seni. Yaa…ketiganya memang sangat aku sukai. Tapi sangat tidak disukai oleh Ayah :D Memang bukan hobi, tapi juga bukan bakat turunan. Karena Ayahku justru seorang pendidik yang sangat disiplin dan sangat ingin anak-anaknya mengikuti jejaknya : Menjadi seorang Guru. Tapi itu bukan jiwaku. Karena itu aku menolak keras. Terkadang aku sedikit menyesal. Karena jika Ayah tahu biaya kuliahku di Universitas Negeri tempatku berkuliah, lebih mahal daripada Sekolah Broadcasting yang aku inginkan. Tapi apalah daya semua sudah terlanjur. Aku hanya bisa mengobatinya dengan kegiatan yang lebih positif. Belajar menjadi penyiar, mengisi acara di stasiun radio sebagai penyiar tamu dan menjadi reporter merupakan salah satu langkah kecil untuk menapaki dunia broadcasting. Aku pun tidak tahu apakah ini sebuah cita-cita. Karena jujur aku juga sudah lupa, apa jawabanku saat ditanya apa cita-citaku saat masih kecil. Tapi beranjak dewasa aku selalu berkata “Aku ingin menjadi seorang broadcaster” walaupun belum banyak yang aku lakukan untuk mencapai mimpi itu. Hope that someday my dreams will be come true. Perlahan tapi pasti. Who know’s kalau suatu saat aku bias ‘menaklukkan’ Jakarta?
Beberapa waktu lalu aku sempat bertemu dengan seseorang di kereta api dalam perjalananku dari Malang menuju Jember, yang ternyata ku ketahui beliau adalah seorang Pastur. Aku tidak peduli apa dan siapa dia. Tapi saat dia bertanya “Apa cita-citamu?” aku menjawab “menjadi seorang broadcaster” dia berkata “Good! Mulai sekarang, susunlah masa depanmu, Fevtri! Lakukan dimulai dari hal-hal kecil, apapun yang bisa mendukung cita-citamu. Mencari celah, bekerja di EO, menjadi penyiar atau apapun. Lakukan selama itu positif. Dan tetap harus bisa jaga diri.” Dan itu benar-benar membuka pikiranku. Aku pun sudah mulai meniti hal-hal kecil itu. Aku Cuma pengen nunjukin sama Ayah disana, kalau dunia broadcasting itu tidak lebih rendah dari apa yang Ayah pikir selama ini. Aku Cuma pengen nunjukin sama Ayah disana, kalau aku bisa membanggakan Ayah dan Ibu dengan caraku. Bukan cara mereka. Aku berbeda. Aku suka petualang, aku suka bebas, aku tidak suka diatur, tapi bukan berarti aku tidak pernah menuruti kemauan mereka. Tapi paling tidak aku ingin diberi “ruang” untuk melakukan apa yang aku ingin. Semua hal memang harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Selama mereka percaya, aku pun akan melakukan yang terbaik demi mereka. Dan jalanku menuju dunia broadcasting (percaya atau tidak) baru terbuka sedikit demi sedikit saat Ayah pergi. Mungkin Tuhan hanya ingin menunjukkan seberapa keras aku bisa berjuang, aku bisa menjaga semangat untuk menggapai apa yang aku ingin. Termasuk untuk berdebat dengan Ayah terlebih dahulu :D

Sabtu, 28 Mei 2011

"Jalan-Jalan" bersama "Mbak Maya"

Dari judulnya mungkin sudah bisa ditebak, bahwa jalan-jalan yang aku perbincangkan disini bukanlah jalan-jalan dalam artian yang sesungguhnya. Hanya sekedar jalan-jalan untuk mengabulkan permintaan hatiku. Permintaan hati yang sudah lama sekali ingin pergi ke tempat nun jauh disana, yang memiliki judul "Batam". Yaa...untuk mengobati kerinduan pada Si Jagoan Kecil (yang walaupun baru beberapa waktu lalu sudah bertemu) selalu membuatku rindu akan celotehannya. Walaupun nakal, tapi dia anak yang cerdas. Aku suka itu. Dan pagi ini aku memutuskan menyalakan komputerku, menautkan modem dan mulai berselancar bersama "Mbak Maya" alias berselancar dalam dunia khayalan. Searching info mulai dari biaya akomodasi, searching tempat² yang oke untuk dikunjungi, hingga mengkalkulasi biaya yang dibutuhkan. Hanya sebuah khayalan untuk saat ini. Tapi Who knows suatu saat bisa terwujud :) Karena akupun selalu berusaha mewujudkannya. Aku selalu bilang pada Ibuku "Mumpung mereka belum kembali ke Tanah Jawa, Bu. Mumpung aku belum sibuk dengan urusan mencari pekerjaan" begitu alasan yang selalu aku kemukakan. Batam Giant Wheel, Pantai Coastarina, hmmmm...benar-benar sudah terbayang di pelupuk mata. Apalagi dengan sedikit uang lagi bisa sampai negeri singa. Tak apalah walau hanya dalam khayalan. Baik juga untuk memotivasi diri. Selama aku tidak lupa dengan kewajiban-kewajibanku disini, why not? Oke selamat bermimpi! Semoga sukses dan segera terwujud :) (Amin)